Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendapat Uama Tentang Hukum Shalat Fardhu Berjamaah

 

Pendapat Uama Tentang Hukum Shalat Fardhu Berjamaah

Pendapat-pendapat pengikut Madzhab dan alasan-alasannya

An-Nawawy dalam Al-Majmu' mengatakan, "Mengerjakan shalat secara jamaah diperintahkan syara', mengingat beberapa hadits yang shahih dan ijma". Ulama-Ulama Syafi'iyah berbeda pendapat mengenai hukum jamaah. Ada yang mengatakan wajib kifayah. Ada yang mengatakan sunnah. Ada yang mengatakan wajib 'ain (fardhu 'ain). 

Pendapat ketiga ini dipegang oleh Ulama-Ulama besar dari golongan kami. Diantaranya Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Mundzir (dua imam hadits yang terkenal). Di antara ulama Syafi'y yang juga menetapkan demikian ialah Abu Hamid. Kemudian jika ditetapkan hukumnya fardhu kifayah, maka penduduk suatu kampung yang tidak mengerjakan jamaah di kampungnya, harus diperangi oleh Kepala Negara (yang berwajib).

Tugas mendirikan jamaah ini tidak gugur dari pundak mereka, sehingga mereka mengadakan jamaah dengan cara yang dapat menampakkan syiar agarna. Dalam kampung yang kecil, cukup didirikan satu tempat saja. Dalam kota-kota besar, wajib didirikan di beberapa tempat. Jika mereka mendirikan jamaah shalat di rumah mereka masing-masing, menurut pendapat Abu Ishak Al-Mawadzi, tidak menggugurkan tugas. Mereka tetap dianggap tidak mendirikan jamaah untuk melahirkan syair agama. Jika dikatakan sunnat, meninggalkan jamaah tidak mendirikannya hukumnya makruh saja. Kalau demikain, penduduk kampung yang tidak men- dirikan jamaah di dalam kampungnya tidak harus diperangi.

Menurut sebagian ulama Syafi'iyah, diperangi juga, karena jamaah shalat, walaupun hukumnya sunnat, tetapi itu adalah syiar Islam yang nyata. Jika sebagian kecil penduduk suatu wilayah mendirikan jamaah dan mereka mendeklarasikan sebagai wakil bagi seluruh penduduk wilayah tersebut, sedang kebanyakan penduduknya tidak menghadirinya jamaah. Maka, jamaah tersebut adalah sah dan gugurlah dosa dari orang yang tidak menghadirinya.

Menghadiri jamaah shalat, tidak dituntut bagi kaum perempuan. Hanya disukai saja. Asy-Syafi'y dan ashhabnya mengatakan, "Hendaklah anak-anak kecil diperintahkan menghadiri jamaah shalat, supaya dapat menjadi kebiasaannya.

Pendapat-pendapat yang sudah diterangkan tersebut adalah mengenai shalat maktubah (shalat lima) saja. Mengenai shalat Jum'at, menghadirinya adalah hukumnya fardhu 'ain. Pendapat yang benar dari pendapat-pendapat ulama Syafi'iyah menurut An-Nawawy adalah pendapat yang menetapkan, bahwa jamaah adalah fardhu kifayah. Menurut An-Nawawy, golongan yang mewajibkan jamaah atau menjadikannya fardhu 'ain berhujjah dengan hadits Abu Hurairah, bahwa: "Seberat-berat shalat bagi orang munafik ialah shalat Isya' dan shalat sunnat Shubuh." Mereka juga berhujjah dengan hadits Ibnu Mas'ud, hadits Ibnu Maktum dan beberapa hadits yang lain. Diantaranya, hadits: "Barangsiapa mendengar adzan dan tidak ada udzur yang menghalanginya untuk memenuhi seruan tersebut, maka shalatnya tidak diterima."

Sahabat-sahabat bertanya: "Apakah udzur yang dapat menghalanginya? Nabi menjawab: takut atau sakit.

Golongan yang menetapkan bukan fardhu 'ain, berhujjah dengan hadits: "Shalat jamaah melebihi shalat sendirian dengan dua puluh derajat", yang diriwayatkan Ibnu Urmar, Abu Said dan Abu Hurairah. Ulama Syafi'iyah berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Malik ibn Al-Huwairits: "Kami datang kepada Rasulullah saw. sedang kami masih muda-muda, hampir- hampir sebaya umur kami. Maka kami bermukim di sisi Nabi (di Kota Madinah) selama duapuluh hari. Rasulullah saw. adalah seorang yang rahim dan mempunyai belas kasihan kepada ummatnya. Beliau mengetahui, bahwa karni telah merin- dukan keluarga kami. Karena itu, beliau menanyakan tentang keluarga yang kami tinggalkan, maka kami pun menyampaikan kepadanya. Setelah beliau mendengar kabar kami, beliau bersabda: "Kembalilah kamu kepada keluargamu, bermukimlah beserta mereka dan berilah pelajaran kepada mereka, serta suruhlah mereka mengerjakan shalat. Apabila telah hadir waktu shalat, hendaklah salah seorang kamu membaca adzan. Kemudian hendaklah orang yang paling besar (tua) di antara kamu menjadi imam."

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan, "Hadits (919) lahirnya menegaskan bahwa shalat jamaah adalah fardhu 'ain. Karena kalau hanya sunnat, tentu Nabi tidak mengancam orang-orang yang meninggalkannya dengan membakar rumah-rumah beserta penghuninya. Kalau fardhu kifayah, tentu telah berwujud fardhu dengan apa yang dikerjakan Nabi dan sahabat-sahabatnya.

Inilah pendapat Atha', Al-Auza'y, Ahmad dan sebagian Muhadditsin Syafi'iyah, (Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir, Abu Tsaur dan Ibnu Hibban). Meng- ingat, bahwa sesuatu yang diwajibkan, terkadang tidak menjadi syarat, Ahmad pun menetapkan, bahwa jamaah, walaupun fardhu, tidak menjadi syarat sah shalat.

Lahir nash Asy-Syafi'y menunjukkan fardhu kifayah. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ashhabnya dan Ulama-Ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Beberapa ulama lain menetapkan bahwa jamaah untuk shalat adalah sunnat.

Golongan Asy-Syafi'y menerangkan hujjah golongan pertama (Ahmad dan lain- lain) dengan beberapa alasan: 

Pertama, ancaman ada juga dihadapkan kepada orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti memerangi orang yang meninggalkan jarnaah.

Tangkisan ini perlu diteliti lebih jauh, karena membakar berarti membunuh. Membunuh tidak serupa dengan memerangi. Memerangi dilakukan apabila semua penduduk meninggalkannya.

Kedua, Nabi sendiri menyatakan keinginannya untuk meninggalkan jamaah pergi membakar rumah orang yang tidak jamaah. Kalau fardhu'ain, tentu Nabi tidak mau meninggalkannya.

Tangkisan ini dapat dibantah begini: Sesuatu yang wajib boleh ditinggalkan, untuk menyelesaikan yang lebih wajib lagi. Apalagi tidak ada penegasan, bahwa Nabi sekiranya tidak shalat di Masjid dengan jamaah, tidak juga shalat jamaah di tempat lain beserta sahabat-sahabat yang menyertainya. Jawaban ini, menurut Imam Haramain dinukilkan dari Ibnu Khuzaimah.

Ketiga, seandainya fardhu 'ain, tentu Nabi menegaskan dengan terang ketika mengeluarkan ancaman tersebut, bahwa orang yang tidak menghadiri jamaah adalah tidak sah shalatnya.

Inilah jawaban Ibnu Baththal. Jawaban ini dibantah oleh Ibnu Daqiqil Id, katanya: "Penegasan ini boleh dengan nash, boleh dengan dhalalah. Sabda Nabi: "Saya berkeinginan..." menunjukkan kepada wajib.

Keempat, Nabi maksudkan dengan memeranginya adalah sekedar menggertak saja, bukan benar-benar akan melakukannya. Demikian menurut Al-Baji. Alasannya, Nabi mengancam mereka dengan siksa yang dilakukan terhadap orang-orang kafir, yaitu membakar, padahal telah terjadi ijma' bahwa membakar orang Islam tidak diperbolehkan.

Tangkisan ini dibantah dengan alasan bahwa Nabi mengeluarkan ancaman ini sesudah menghapuskan hukum menyiksa orang dengan api. Kalau demikian, bukan sekedar mempertakutkan saja.

Kelima, Nabi sendiri tidak jadi membakar rumah-rumah tersebut. Kalau wajib shalat jamaah, tentu Nabi tidak memaafkan mereka, tidak membatalkan niatnya."

Al-Qadhi lyadh mengatakan, Tidak terdapat dalam hadits ini hujjah untuk mewajibkan jamaah, Nabi hanya berkeinginan saja, tidak melaksanakannya.

An-Nawawy mengatakan, "Sekiranya fardhu 'ain, tentu Nabi tidak membiarkan mereka."

Ibnu Daqiqil Id mengatakan, "Nabi tidak mempunyai maksud demikian atau maksud membakar rumah orang yang tidak shalat jamaah, kalau hal tersebut tidak boleh. Nabi tidak meneruskan keinginannya, tidak menunjukkan kepada tidak wajibnya bershalat jamaah, karena mungkin Nabi tidak meneruskan keinginannya, karena sesudah mendengar ancaman itu mereka melaksanakan kewajibannya.

Apalagi dalam hadits yang lain diterangkan, bahwa Nabi tidak jadi meneruskan maksudnya, karena khawatir akan menganggu keselamatan kaum perempuan dan anak-anak.

Keemam, yang diancam tersebut adalah kelompok yang sama sekali tidak shalat, bukan meninggalkan jamaah.

Tangkisan ini ditolak dengan kenyataan, bahwa dalam riwayat Muslim, tegas-tegas disebut "la yahdhuru nash-shalaata" (mereka tidak menghadiri shalat)". Di dalam riwayat Ahmad, disebutkan Laa yahdhurunal 'isyaa-a fil jami'i (mereka tidak mengha- diri shalat Isya' dalam berjamaah)." Dalam riwayat Ibnu Majah disebut "laa yantahi yanna rijaalun an tarkihimil jamaah (hendaklah mereka berhenti meninggalkan jamaah)."

Ketujuh, hadits ini mendorong kita menyalahkan tingkah laku orang-orang munafik, bukan khusus meninggalkan jamaah. Demikian penegasan Ibnu Mundzir. Tangkisan ini serupa dengan tangkisan keempat.

Kedelapan, hadits ini dihadapkan kepada orang-orang munafik, bukan khusus ancaman terhadap orang yang tidak menghadiri jamaah.

Al-Hafizh mengatakan, "Memang ancaman ini dihadapkan kepada orang-orang munafik, tetapi yang dimaksudkan dengan orang-orang munafik di sini adalah munafik amal, bukan munafik i'tiqad."

Kesembilan, tugas menghadiri jamaah adalah di permulaan Islam yang selan- jutnya dimansukhkan. Pendapat ini disampaikan Al-Qadhi Iyadh.

Kesepuluh, dimaksud shalat yang apabila orang yang meninggalkan jamaahnya dibakar, ialah shalat Jum'at. Demikianlah pendapat Al-Qurthubi.

Tangkisan ini dibantah, dengan hadits-hadits yang tegas menyatakan, Isya' dan Shubuh, dan ada juga hadits yang menyatakan Jum'at. Ancaman ini menurut riwayat Ahmad dari Abu Hurairah, khusus bagi orang yang ada di sekitar masjid (berdekatan rumahnya dengan masjid).

Ibnu Qudamah mengatakan, "Berjamaah adalah wajib bagi semua shalat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan Ibnu Mas'ud dan Abu Musa. Pendapat ini dianut Atha', Al-Auza'y dan Abu Tsaur. Menurut pendapat Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Asy-Syafi'y tidak wajib, berdasarkan kepada hadits Nabi, "Shalat jamaah melebihi shalat sendiri dengan duapuluh lima derajat". Karena Nabi tidak mem- bantah orang-orang yang mengatakan, "Kami telah shalat di tempat kami." Sean- dainya wajib, tentu Nabi membantahnya. Kalau wajib, tentu menjadi syarat sah shalat sebagaimana halnya shalat Jum'at.

Ibnu Qudamah mengatakan pula "Sesungguhnya jamaah adalah wajib, mengingat firman Allah: "Apabila engkau berada bersama mereka dan engkau mendirikan shalat untuk mereka....." Kalau tidak wajib, tentu tidak diadakan jamaah ketika dalam ketakutan dan tentu kita tidak diperbolehkan mencederai rukun shalat karena jamaah tersebut, berdasarkan hadits Abu Hurairah (919). 

Dipahami dari hadits ini, bahwa shalat yang ditinggalkan jamaahnya ialah shalat selain Jum'at. Kalau Jum'at, tentu Nabi tidak ingin meninggalkannya. Mengingat pula hadits Ibnu Ummi Maktum, bahwa apabila tidak dimaafkan bagi orang buta yang tidak mempunyai penuntun untuk tidak menghadiri jamaah, tentu orang yang nyalang matanya lebih tidak dimaafkan. Namun demikian, hal itu tidak dijadikan syarat sah shalat. Hal ini juga telah dinashkan Ahmad. 

Ibnu Aqil mensyaratkan shalatnya dengan jamaah berdasarkan qiyas kepada rukun shalat yang lain. Pendapat beliau ini tidak benar, karena tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan wajib mengulang shalat yang dikerjakan sendiri. Terdapat juga riwayat dari sebagian sahabat, diantaranya Ibnu Mas'ud dan Abu Musa, bahwa beliau mengatakan, "Barangsiapa mendengar adzan, tetapi tidak menghadiri jamaah padahal tidak ada halangan, maka tidak ada shalat baginya."

Abu Zur'ah berpendapat, hadits Abu Hurairah (919) memberi pengertian bahwa imam boleh menggantikan diri dalam mengimami shalat, apabila ada keperluan. Kita boleh merusak harta orang yang disiksa. Juga menyatakan, bahwa ancaman dan teguran, didahulukan atas penyiksaan, mengingat apabila suatu kerusakan dapat dihindarkan dengan cara yang ringan, tidak dilakukan terhadapriya tindakan yang berat. 

Hadits Ibnu Umar (924) menyatakan, bahwa sekurang-kurangnya jamaah ialah dua orang. Abu Zur'ah mempertahankan Madzhab Asy-Syafi'y.

Al-Majmu' Ibnu Taimiyah berpendapat, hadits yang menerangkan keutamaan shalat jamaah atas shalat sendiri, menolak pendapat golongan yang menetapkan, bahwa shalat yang dikerjakan sendirian dengan tidak ada udzur adalah tidak sah, karena ada hadits yang menerangkan, "Bahwa pahala yang diperoleh para mun- farid, tidak kurang dari pahala berjamaah walaupun ada udzur. Hadits yang di- maksudkan oleh Al-Majmu' Ibnu Taimiyah ini ialah hadits (926).

Asy-Syaukani berpendapat, dalil atau nash yang diperoleh dari syarat dalam masalah ini lahinya berlawan-lawanan. Apabila kita mengambil dalil yang me- nunjukkan kepada wajibnya saja, berarti kita tidak memperdulikan dalil-dalil yang menunjukkan kepada tidak wajib. Hal yang demikian tidak boleh. 

Karena itu, pendapat yang sangat tepat dan lebih dekat kepada kebenaran ialah menetapkan, bahwasanya jamaah adalah sunnah muakkad, yang tidak ditinggalkan oleh mereka yang menginsyafi kedudukan jamaah dengan tidak dapat menetapkannya sebagai fardhu 'ain, atau kifayah atau syarat sah shalat.

Untuk mentahqiqkan masalah ini, kami nukilkan pentahqiqan Ibnu Qayyim dalam risalah "Ashshalatu wa ahkamu tarikiha", sebuah risalah yang sangat tinggi nilainya.

Beliau mengatakan, "Sahkah shalat orang yang shalat sendiri, padahal dia sanggup menghadiri jamaah? Jawaban pertanyaan ini harus kita dasarkan kepada dua masalah:

1) Apakah jamaah fardhu atau sunnat?

2) Kalau fardhu, apakah merupakan syarat sah shalat atau bukan? (walaupun yang meninggalkannya berdosa).

Masalah pertama, diperdebatkan oleh fuqaha.

Atha', Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bishri, Abu Amar Al-Auza'y, Abu Tsaur, Ahmad dalam lahir Madzhabnya, mewajibkan jamaah. Pendapat ini dinashkan Asy-Syafi'y dalarm "Mukhtashar Al-Muzani".

Asy-Syafi'y mengatakan, "Wa 'ammal jama'atu fa la urakhkhishu fi tarkiha illa min udzrin (Adapun jamaah, saya tidak memperbolehkan orang meninggalkannya, kecuali ada udzur."

Ibnu Mundzir dalam kitab Al-Ausath berpendapat, kehadiran orang buta dalam jamaah walaupun rumahnya jauh dari masjid., menunjukkan kepada kefardhuan menghadirinya, bukan sunnat. Ibnu Mundzir berhujjah dengan sabda Nabi kepada Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, sabdanya: "Saya tidak memperoleh kelapangan bagi engkau untuk tidak menghadiri jamaah." Sabda ini mengesankan, bahwa orang-orang yang tidak buta, lebih-lebih lagi tidak diberikan kelapangan untuk shalat sendiri di rumahnya. Keinginan Nabi membakar rumah orang yang tidak menghadiri jamaah, dengan jelas menyatakan bahwa menghadiri jamaah adalah wajib, karena Nabi tidak boleh mengancam orang yang meninggalkan sunnat.

Abu Hurairah pernah berkata kepada orang yang keluar dari Masjid sesudah adzan dikumandangkan, "orang ini durhaka kepada Abu Qasim."

Ucapan Abu Hurairah ini memberi pengertian, bahwa kalau yang ditinggal- kan itu sunnat, tentu tidak dihukum durhaka. Allah memerintahkan Nabi-Nya mendirikan jamaah ketika khauf (ketika ketakutan). Hal ini menyatakan bahwa ketika aman dan tenteram, lebih diwajibkan lagi. Hadits-hadits yang memperbolehkan orang yang udzur tidak menghadiri jamaah, menunjukkan kepada wajibnya jamaah bagi orang yang tidak udzur. Kalau ada udzur atau tidak ada udzur, sama saja apalah artinya dimaafkan kepada yang ada udzur. Wajib jamaah telah ditunjukkan oleh hadits: "man sami'an nidaa fa lam yujib fala shalaata lahu (barangsiapa mendengar adzan, lalu tidak memenuhi seruannya, maka tidak ada shalat baginya)."

Asy-Syafi'y berpendapat: "Tuhan menyebut masalah adzan daları shalat. Nabi saw. mensyariatkan adzan bagi semua shalat fardhu. Maka hal itu menyatakan, bahwa seseorang tidak boleh mengerjakan shalat fardhu, melainkan dengan jamaah. Karena itu, kita harus selalu menghadiri jamaah. Baik yang mendirikan tersebut orang mukim maupun musafir.

Semua orang harus mendirikan shalat jamaah. Saya tidak membenarkan orang yang sanggup menghadiri jamaah untuk meninggalkannya, kecuali ada udzur. Akan tetapi, jika seseorang tidak pergi dan shalat sendiri, tidaklah diberatkan baginya untuk mengulangi shalatnya, baik dia lakukan sebelum imam, ataupun sesudahnya. Ulama-Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat: "Jamaah adalah sunnat muakkadah. Karena itu, berdosalah orang yang meninggalkannya, dan shalat yang dikerjakan dengan tidak berjamaah, sah.

Perbedaan pendapat antara golongan pertama dengan ulama Hanafiyah dan Malikiyah, sebenarnya hanya perdebatan dalam sebutan. Sebagian ulama Hanafiyah, tegas-tegas mewajibkannya.

Ularna yang mewajibkan, mendatangkan dua belas dalil yang semuanya me- nunjukkan kepada wajib dan menangkis bantahan atau jawaban-jawaban yang di- kemukakan oleh pihak yang berlawanan.

Masalah kedua, diperselisihkan juga oleh ulama yang mewajibkan jamaah. Ada yang tidak menjadikannya syarat sah shalat. Inilah yang dipegang oleh kebanyakan ashhab Ahmad, yang mutaakhkhirin. Daud dan ashhabnya menjadikan syarat. Golongan yang tidak mensyaratakan ada yang memandangnya sunnat, ada yang memandangnya fardhu kifayah dan ada yang memandangnya fardhu 'ain.

Golongan yang memandangnya sunnat atau fardhu kifayah, mendasarkan pendapatnya kepada hadits "shalat jamaah melebihi shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat."

Golongan yang mewajibkannya berpendapat: "Nabi menerangkan kelebihan shalat jamaah atas shalat sendiri, tidak mengharuskan kita terlepas dari kewajiban menghadiri jamaah. Hanya, paling tinggi menunjukkan kepada sahnya shalat yang dikerjakan sendiri. Golongan yang mewajibkan dan mensyaratkan berpendapat: "Melebih kurangkan antara shalat sendiri dengan shalat jamaah ditujukan kepada shalat sendiri yang dikerjakan dengan udzur. Kalau dikatakan, bahwa orang yang udzur disempurnakan pahalanya, maka kesempurnaan itu diberikan berdasarkan niatnya, bukan berdasarkan perbuatannya.

Apakah jamaah yang dimaksud adalah jamaah di Masjid atau jamaah di mana saja. Ada dua pendapat mengenai hal ini:

  1. Boleh dilaksanakan di rumah. Menurut pendapat ulama Hanafiyah,Malikiyah dan sebagian dari ulama Syafi'iyah.
  2. Tidak boleh dilaksanakan di rumah, kalau tidak karena udzur.

Jamaah di Masjid adalah fardhu kifayah. Ini pendapat kedua dari Ashhab Asy- Syafi'y.

Menurut pentahqiqan, jamaah yang dimaksud dengan jamaah yang wajib kita hadiri ialah jamaah di masjid, yang diimami oleh penguasa. Inilah yang diwajibkan kita menghadirinya, kecuali ada udzur. Apabila ada udzur, tidak dapat ke masjid barulah kita berjamaah di rumah.

Ibnu Qayyim berpendapat, "Wajib menghadiri jamaah di masjid bagi mereka yang rumahnya di sekitar masjid, yang terdengar mendengar dengan jelas suara adzan, kecuali ada udzur."

Di dalam masalah ini, kita menghadapi hadits-hadits yang agaknya berlawanan lahirnya. Asy-Syaukani mengumpulkan hadits-hadits ini dengan mentakwilkan hadits yang menunjukkan kepada wajib, supaya sesuai dengan hadits yang menunjukkan kepada sunnat.

Menurut pentakwilkan kami, sebaliknya hadits-hadits yang menunjukkan wajib, tetap demikian. Hadits-hadits yang menunjukkan tidak wajib, berdasarkan pendapat yang tidak mewajibkannya, menurut pendapat kami, menunjukkan kepada sah shalat yang dikerjakan bersendiri, bukan terhadap tidak wajib menghadiri ke masjid. 

Ringkasnya, menghadiri jamaah di masjid, wajib bagi yang tidak mempunyai udzur. Jika tidak dapat ke masjid, sedang udzur tidak ada, maka shalat yang dikerjakan sendiri sah. Kemudian harus pula dipahami, bahwa jamaah yang memperoleh duapuluh tujuh derajat ialah jamaah di masjid. Shalat jamaah di rumah, lebih utama daripada shalat sendiri.

Sebab-sebab shalat jamaah melebihi shalat sendiri, dengan duapuluh tujuh derajat atau duapuluh lima derajat.

Sebenarnya, menetapkan dengan cara pasti, sebab-sebab tersebut tidak dapat kita lakukan, karena tidak ada hadits yang menerangkannya dengan jelas. Akan tetapi, sebagian ulama telah mencoba menerangkannya. Al-Hafizh mengatakan, "derajat yang duapuluh tujuh tersebut" ialah:

  1. Pahala memenuhi seruan muadzdzin dengan niat shalat jamaah.
  2. Pahala bersegera menghadiri jamaah di awal waktu.
  3. Pahala pergi ke masjid dengan tenang dan dengan sikap terhormat.
  4. Masuk ke dalam masjid dengan berdoa.
  5. Mengerjakan tahiyyatul Masjid.
  6. Menanti jamaah.
  7. Memperoleh istighfar Malaikat.
  8. Para Malaikat menyaksikan shalat yang dikerjakan dalam jamaah.
  9. Menyahut iqamat.
  10. Terlindung dari setan yang lari ketika mendengar iqamat.
  11. Tegak berdiri menanti imam takbir.
  12. Dapat langsung takbir sesudah imam.
  13. Meluruskan dan merapikan shaf tanpa jarak.
  14. Menjawab ucapan imam ketika membaca "sami'allahu liman hamidah."
  15. Terpelihara dari lupa dan mengingatkan imam apabila lupa.
  16. Memperoleh khusyu' dan terlepas dari yang melalaikan.
  17. Membaguskan keadaan shalat.\
  18. Mendapat naungan Malaikat.
  19. Melatih diri untuk tajwid bacaan dan mempelajari tata cara bershalat.
  20. Melahirkan syiar agama.
  21. Mengalahkan setan dengan bersama-sama berkumpul untuk ibadat.
  22. Terbebas dari sifat munafik dan terlepas dari salah sangka orang,
  23. Menjawab salam imam.
  24. Memperoleh hasil dari berkumpul untuk berdoa dan berzikir, orang yang kurang memperoleh berkat dari orang yang cukup.
  25. Lahir kerukunan, antara penduduk dan dapat saling jumpa.
  26. Memperhatikan bacaan Al-Fatihah imam, dan
  27. Membaca ta'mim bersama imam, mendengar ayat ketika imam membacanya.
Al-Hafizh mengatakan pula, bahwa shalat jamaah melebihi shalat munfarid duapuluh tujuh derajat adalah jika shalat tersebut shalat jahar. Jika shalat tersebut sirr, maka dia melebihi shalat munfarid dengan duapuluh lima derajat saja. (1-25).