Asmaul Husna Az-Zahir wa Al-Bathin
Kata azh-zhâhir terambil dari akar kata yang menggunakan huruf-huruf zha', ha', dan ra'. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu kekuatan dan kejelasan/penonjolan. Sesuatu yang terbuka sehingga terlihat jelas dinamai zhâhir, siang sewaktu cahaya sangat terang, yakni saat matahari di tengah langit dinamai Zhuhur. Punggung manusia, karena jelas dan kuat, dinamai zhahir. Mata yang jeli, dinamai zhâhirah, demikian juga fenomena yang tampak. Sesuatu yang tinggi juga ditunjuk dengan menggunakan akar kata ini. Demikian juga yang mengalahkan, karena dengan mengalahkan dia memiliki kekuatan.
Kata al-bâthin terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ba', tha', dan nun. Maknanya berkisar pada sesuatu yang di dalam atau disembunyikan. Kata ini sering kali diperhadapkan dengan azh-zhahir.
Kata zhâhir ditemukan enam kali dalam al-Qur'an, satu di antaranya dihiasi dengan alif dan lam pada awalnya yaitu; azh-Zhâhir dan ini menunjuk kepada Allah swt. (QS. al-Hadid [57]: 3).
Dialah Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir, dan Mahabatin. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sedang selainnya menyifati dosa, perkataan, perdebatan, siksa, dan kehidupan dunia. Empat di antaranya menyifati hal-hal negatif atau dikemukakan dalam konteks kecaman. Perhatikan ayat-ayat berikut:
"Tinggalkanlah dosa yang tampak (zhahir al-itsm) dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari Kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan." (QS. al-An'âm [6]: 120).
Camkan juga kecaman Allah terhadap yang mempersekutukan-Nya:
Apakah Dia yang mengawasi setiap jiwa atas apa yang diperbuatnya (sama dengan tuhan yang tidak demikian)? Mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu! Apakah kamu hendak memberitahukan kepada-Nya apa yang tidak diketahui-Nya di bumi atau (mengatakan tentang hal itu) sekadar perkataan pada lahirnya saja.” Sebenarnya bagi orang-orang yang kufur, tipu daya mereka itu dijadikan terasa indah dan mereka dihalangi dari jalan (yang benar). Siapa yang disesatkan Allah, tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk baginya" (QS. ar-Ra'd [13]: 33).
Juga firman-Nya:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (zhâhir saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (QS. ar-Rom [30]: 7).
Terhadap orang-orang munafik Allah menguraikan nasib mereka kelak: "Lalu diadakan di antara mereka dinding yang memunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya (zháhiruhu) dari situ ada siksa
Pada hari (itu juga) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.” (Kepada mereka) dikatakan, “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu, di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada azab." (QS. al-Hadid [57]: 13).
Satu ayat yang menggunakan kata zhâhir merupakan petunjuk kepada Nabi Muhammad saw. menyangkut bagaimana menghadapi orang-orang yang tidak mengerti jika terpaksa harus berdiskusi:
Kelak (sebagian orang) mengatakan, “(Jumlah mereka) tiga (orang). Yang keempat adalah anjingnya.” (Sebagian lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) lima (orang). Yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap yang gaib. (Sebagian lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh (orang). Yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka. Tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit.” Oleh karena itu, janganlah engkau (Nabi Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan yang jelas-jelas saja (ringan). Janganlah engkau minta penjelasan tentang mereka (penghuni gua itu) kepada siapa pun dari mereka (Ahlulkitab). (QS. al-Kahf [18]: 22).
Janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir (zhahir) saja (yang jelas dalilnya berupa apa yang disampaikan Allah kepadamu) dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (penghuni gua Kahfi/Ashhab al-Kahf) kepada seorang pun di antara mereka"
Semua yang zhāhir, buruk bila berkaitan dengan manusia, kecuali jika yang zhâhir itu mengikuti tuntunan Ilahi atau merupakan nikmat Ilahi. Demikian kesimpulan yang di peroleh setelah mengamati ayat-ayat yang menggunakan kata zhâhir. Kesimpulan ini juga dapat berlaku terhadap ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak yang terulang sebanyak dua kali, atau bentuk mu'annats/feminin yang terulang dua kali.
Kata bâthin hanya terulang dua kali, keduanya bergandengan dengan zhâhir, satu merupakan sifat Allah, yang dihiasi dengan alif dan lam sekaligus bergandengan dengan azh-Zhâhir, yang satu lainnya juga digandengkan dengan zhâhir dan menyifati dosa, yang telah dikutip ayatnya di atas.
Azh-Zhâhir yang merupakan sifat Allah ini dipahami sebagai Dia yang tampak dengan jelas bukti-bukti wujud dan keesaan-Nya di pentas alam raya ini. Nalar tidak dapat membayangkan betapa alam raya dengan serba keindahan, keserasian dan keharmonisan dapat wujud tanpa kehadiran-Nya.
Dia azh-Zhâhir itu yang menunjukkan kepada kita kerajaan dan kekusaan-Nya, dengan menyadarkan kita bahwa dalil-dalil wujudnya terbentang di alam luas ini. Segala sesuatu yang diciptakan- Nya-walau yang bisu sekalipun adalah hujjah yang berbicara tentang wujud-Nya. Mata tidak melihat-Nya tapi Dia berada di hadapan setiap ciptaan-Nya:
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui" (QS. al-An'âm [6]: 103).
Al-Bathin adalah Dia yang tersembunyi hakikat zat dan sifat-Nya, bukan karena tidak tampak, tetapi justru karena Dia sedemikian jelas, sehingga mata dan pikiran silau, bahkan tumpul sehingga tidak mampu memandang-Nya.
Ketika menafsirkan ayat yang menguraikan sifat Allah ini, ar-Razi menjelaskan bahwa Allah Zhahir karena Dia Bâthin. Ar-Razi memberi ilustrasi dengan matahari, seandainya matahari tidak beredar, maka kita dapat menduga bahwa cahaya yang terlihat di pentas bumi ini bersumber dari masing-masing benda. Kita tidak akan menduga bahwa ia adalah akibat cahaya matahari. Tetapi karena matahari menghilang dari ufuk dan terbenam, maka kertika itu kita sadar bahwa penyebabnya adalah matahari, dan bahwa matahari ada wujudnya.
Jika demikian, tulis ar-Razi: "Seandainya dimungkinkan ketiadaan wujud Allah di arena alam ini, maka ketika itu kita akan sepenuhnya yakin bahwa segala wujud adalah bersumber dari wujud Allah swt."
Imam al-Ghazali menulis ketersembunyian-Nya disebabkan oleh kejelasan-Nya yang luar biasa, dan kejelasan-Nya yang luar biasa itu disebabkan oleh ketersembunyian-Nya. Cahaya-Nya adalah tirai Cahaya-Nya, karena semua yang melampaui batas akan berakibat sesuatu yang bertentangan dengannya.
MENELADANI ALLAH AZ-ZHAHIR DAN AL-BATHIN
Bagaimana meneladani-Nya? Jadilah zhahir, yakni nyata dengan karya-karya Anda yang indah, serasi, baik, dan benar. Bukankah ciptaan Allah semuanya baik, serasi, dan harmonis?
(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela? (QS. al-Mulk [67]: 3).
"Engkau sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"
Tetapi ingat bahwa apa yang tidak terjangkau, atau apa yang bâthin (tersembunyi) dari kebaikan, Anda harus lebih baik dari apa yang terjangkau dan nyata.
Karena demikian itulah Allah yang Anda teladani. Cinta-Nya tak bertepi, sehingga walau banyak yang kita rasakan, pada hakikatnya sedikit dibanding dengan yang di sisi-Nya.
Kuasa-Nya yang tak terbatas, sehingga kendati terlihat besar oleh makhluk, ia adalah setetes dari samudera. Nikmat-Nya yang tercurah, walau tak mampu dihitung, hanyalah sekelumit dari aneka nikmat-Nya. Demikian Allah swt.
Selanjutnya yang meneladani Allah dalam kedua sifat ini-azh- Zhâhir wa al-Bathin-hendaknya meninggalkan segala dosa dan kekejian, baik yang lahir maupun yang batin. Hendaknya dia sadar bahwa mereka yang dilukiskan oleh ayat di atas sebagai disiksa, dengan mengadakan satu pintu buat mereka, "Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya (zhâhiruhu) dari situ ada siksa" (QS. al-Hadid [57]: 13).
Mereka disiksa seperti itu-tulis pakar tafsir al-Biqa'i-karena mereka hanya mementingkan zhahir yang nyata dan melupakan yang batin, atau dalam bahasa al-Qur'an, "Mereka hanya mengetahui yang lahir (zhahir saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (QS. ar-Rûm [30]: 7).
Karena itu yang meneladani Allah dalam sifat ini, dituntut untuk tidak menampakkan sesuatu kecuali yang sesuai dengan tuntunan Ilahi, karena setiap zhâhir yang bertentangan dengan tuntunan-Nya adalah buruk dalam pandangan-Nya, sebagaimana kesimpulan yang diuraikan di atas.
Là lâha Mâ Allâh, tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Maha Suci disertai dengan pagian kepada-Nya. Aku bermohon ampunan-Nya. Tiada daya meraih manfaat, tiada pula kekuatan menampik mudharat, kecuali ang bersumber dari Allah. Dialah Yang Awal Dia pula Yang Akhir, Dia yang Yang Nuata Dia pula Yang Tersembunyi Dalam genggaman tangim-Nya segala kebajikan. Dialah Yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wa shallallahu 'ala saruyidina Muhammad wa 'ala alibi wa shahbihi wa sallam
Kata al-bâthin terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ba', tha', dan nun. Maknanya berkisar pada sesuatu yang di dalam atau disembunyikan. Kata ini sering kali diperhadapkan dengan azh-zhahir.
Kata zhâhir ditemukan enam kali dalam al-Qur'an, satu di antaranya dihiasi dengan alif dan lam pada awalnya yaitu; azh-Zhâhir dan ini menunjuk kepada Allah swt. (QS. al-Hadid [57]: 3).
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ٣
Sedang selainnya menyifati dosa, perkataan, perdebatan, siksa, dan kehidupan dunia. Empat di antaranya menyifati hal-hal negatif atau dikemukakan dalam konteks kecaman. Perhatikan ayat-ayat berikut:
وَذَرُوْا ظَاهِرَ الْاِثْمِ وَبَاطِنَهٗۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْسِبُوْنَ الْاِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوْا يَقْتَرِفُوْنَ ١٢٠
Camkan juga kecaman Allah terhadap yang mempersekutukan-Nya:
اَفَمَنْ هُوَ قَاۤىِٕمٌ عَلٰى كُلِّ نَفْسٍ ۢ بِمَا كَسَبَتْۚ وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ شُرَكَاۤءَۗ قُلْ سَمُّوْهُمْۗ اَمْ تُنَبِّـُٔوْنَهٗ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى الْاَرْضِ اَمْ بِظَاهِرٍ مِّنَ الْقَوْلِۗ بَلْ زُيِّنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا مَكْرُهُمْ وَصُدُّوْا عَنِ السَّبِيْلِۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ هَادٍ ٣٣
Juga firman-Nya:
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ ٧
Terhadap orang-orang munafik Allah menguraikan nasib mereka kelak: "Lalu diadakan di antara mereka dinding yang memunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya (zháhiruhu) dari situ ada siksa
يَوْمَ يَقُوْلُ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوا انْظُرُوْنَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُّوْرِكُمْۚ قِيْلَ ارْجِعُوْا وَرَاۤءَكُمْ فَالْتَمِسُوْا نُوْرًاۗ فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُوْرٍ لَّهٗ بَابٌۗ بَاطِنُهٗ فِيْهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهٗ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُۗ ١٣
Satu ayat yang menggunakan kata zhâhir merupakan petunjuk kepada Nabi Muhammad saw. menyangkut bagaimana menghadapi orang-orang yang tidak mengerti jika terpaksa harus berdiskusi:
سَيَقُوْلُوْنَ ثَلٰثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْۚ وَيَقُوْلُوْنَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا ۢ بِالْغَيْبِۚ وَيَقُوْلُوْنَ سَبْعَةٌ وَّثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْۗ قُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَّا يَعْلَمُهُمْ اِلَّا قَلِيْلٌ ەۗ فَلَا تُمَارِ فِيْهِمْ اِلَّا مِرَاۤءً ظَاهِرًاۖ وَّلَا تَسْتَفْتِ فِيْهِمْ مِّنْهُمْ اَحَدًاࣖ ٢٢
Janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir (zhahir) saja (yang jelas dalilnya berupa apa yang disampaikan Allah kepadamu) dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (penghuni gua Kahfi/Ashhab al-Kahf) kepada seorang pun di antara mereka"
Semua yang zhāhir, buruk bila berkaitan dengan manusia, kecuali jika yang zhâhir itu mengikuti tuntunan Ilahi atau merupakan nikmat Ilahi. Demikian kesimpulan yang di peroleh setelah mengamati ayat-ayat yang menggunakan kata zhâhir. Kesimpulan ini juga dapat berlaku terhadap ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak yang terulang sebanyak dua kali, atau bentuk mu'annats/feminin yang terulang dua kali.
Kata bâthin hanya terulang dua kali, keduanya bergandengan dengan zhâhir, satu merupakan sifat Allah, yang dihiasi dengan alif dan lam sekaligus bergandengan dengan azh-Zhâhir, yang satu lainnya juga digandengkan dengan zhâhir dan menyifati dosa, yang telah dikutip ayatnya di atas.
Azh-Zhâhir yang merupakan sifat Allah ini dipahami sebagai Dia yang tampak dengan jelas bukti-bukti wujud dan keesaan-Nya di pentas alam raya ini. Nalar tidak dapat membayangkan betapa alam raya dengan serba keindahan, keserasian dan keharmonisan dapat wujud tanpa kehadiran-Nya.
Dia azh-Zhâhir itu yang menunjukkan kepada kita kerajaan dan kekusaan-Nya, dengan menyadarkan kita bahwa dalil-dalil wujudnya terbentang di alam luas ini. Segala sesuatu yang diciptakan- Nya-walau yang bisu sekalipun adalah hujjah yang berbicara tentang wujud-Nya. Mata tidak melihat-Nya tapi Dia berada di hadapan setiap ciptaan-Nya:
لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ١٠٣
Al-Bathin adalah Dia yang tersembunyi hakikat zat dan sifat-Nya, bukan karena tidak tampak, tetapi justru karena Dia sedemikian jelas, sehingga mata dan pikiran silau, bahkan tumpul sehingga tidak mampu memandang-Nya.
Ketika menafsirkan ayat yang menguraikan sifat Allah ini, ar-Razi menjelaskan bahwa Allah Zhahir karena Dia Bâthin. Ar-Razi memberi ilustrasi dengan matahari, seandainya matahari tidak beredar, maka kita dapat menduga bahwa cahaya yang terlihat di pentas bumi ini bersumber dari masing-masing benda. Kita tidak akan menduga bahwa ia adalah akibat cahaya matahari. Tetapi karena matahari menghilang dari ufuk dan terbenam, maka kertika itu kita sadar bahwa penyebabnya adalah matahari, dan bahwa matahari ada wujudnya.
Jika demikian, tulis ar-Razi: "Seandainya dimungkinkan ketiadaan wujud Allah di arena alam ini, maka ketika itu kita akan sepenuhnya yakin bahwa segala wujud adalah bersumber dari wujud Allah swt."
Imam al-Ghazali menulis ketersembunyian-Nya disebabkan oleh kejelasan-Nya yang luar biasa, dan kejelasan-Nya yang luar biasa itu disebabkan oleh ketersembunyian-Nya. Cahaya-Nya adalah tirai Cahaya-Nya, karena semua yang melampaui batas akan berakibat sesuatu yang bertentangan dengannya.
MENELADANI ALLAH AZ-ZHAHIR DAN AL-BATHIN
Bagaimana meneladani-Nya? Jadilah zhahir, yakni nyata dengan karya-karya Anda yang indah, serasi, baik, dan benar. Bukankah ciptaan Allah semuanya baik, serasi, dan harmonis?
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ ٣
"Engkau sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"
Tetapi ingat bahwa apa yang tidak terjangkau, atau apa yang bâthin (tersembunyi) dari kebaikan, Anda harus lebih baik dari apa yang terjangkau dan nyata.
Karena demikian itulah Allah yang Anda teladani. Cinta-Nya tak bertepi, sehingga walau banyak yang kita rasakan, pada hakikatnya sedikit dibanding dengan yang di sisi-Nya.
Kuasa-Nya yang tak terbatas, sehingga kendati terlihat besar oleh makhluk, ia adalah setetes dari samudera. Nikmat-Nya yang tercurah, walau tak mampu dihitung, hanyalah sekelumit dari aneka nikmat-Nya. Demikian Allah swt.
Selanjutnya yang meneladani Allah dalam kedua sifat ini-azh- Zhâhir wa al-Bathin-hendaknya meninggalkan segala dosa dan kekejian, baik yang lahir maupun yang batin. Hendaknya dia sadar bahwa mereka yang dilukiskan oleh ayat di atas sebagai disiksa, dengan mengadakan satu pintu buat mereka, "Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya (zhâhiruhu) dari situ ada siksa" (QS. al-Hadid [57]: 13).
Mereka disiksa seperti itu-tulis pakar tafsir al-Biqa'i-karena mereka hanya mementingkan zhahir yang nyata dan melupakan yang batin, atau dalam bahasa al-Qur'an, "Mereka hanya mengetahui yang lahir (zhahir saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (QS. ar-Rûm [30]: 7).
Karena itu yang meneladani Allah dalam sifat ini, dituntut untuk tidak menampakkan sesuatu kecuali yang sesuai dengan tuntunan Ilahi, karena setiap zhâhir yang bertentangan dengan tuntunan-Nya adalah buruk dalam pandangan-Nya, sebagaimana kesimpulan yang diuraikan di atas.
لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .